SIDOARJO--MICOM: Semburan lumpur Lapindo tidak hanya menghancurkan rumah, pabrik, fasiltas umum dan infrastruktur, namun juga berdampak pada perekonomian terutama di Sidoarjo, Jawa Timur.
Pertumbuhan ekonomi di Sidoarjo sempat anjlok akibat semburan lumpur ini, walaupun sekarang sudah bisa merangkak lagi secara perlahan.
Pertumbuhan ekonomi di Sidoarjo sempat mencapai titik krisis tahun 2008 yaitu 4,83%. Padahal sebelum lumpur muncul, pertumbuhan ekonomi di kabupaten penghasil udang ini pernah mencapai 5,17%.
"Namun saat ini perekonomian di Sidoarjo sudah mulai bangkit lagi," kata Kepala Bagian Perekonomian Kabupaten Sidoarjo Fenny Apridawati.
Setelah anjlok 4,83%, pertumbuhan ekonomi di Sidoarjo merangkak menjadi 4,91% pada tahun 2009. Setahun kemudian yaitu tahun 2010 juga naik lagi menjadi 5,17%.
Indikator yang bisa mengangkat pertumbuhan ekonomi itu adalah banyaknya sektor-sektor ekonomi yang tumbuh seperti sektor perumahan, perdagangan dan perindustrian.
Pemberitaan yang sering menyebutkan Lumpur Sidoarjo juga diakui Bupati Sidoarjo Saiful Ilah sempat membuat perekonomian di Sidoarjo redup.
Sebab bagi orang yang tidak mengerti secara langsung bisa membawa image seolah-olah wilayah Sidoarjo terkena lumpur. Padahal, wilayah yang terkena semburan lumpur sebenarnya hanya 680 hektare atau dua persen dari wilayah di Sidoarjo.
"Makanya saya lebih setuju kalau disebut lumpur Porong saja," kata Saiful Ilah.
Bagi warga korban lumpur Lapindo yang sudah mendapatkan ganti rugi, bisa dikatakan semburan lumpur tersebut membawa berkah.
Sebab, mereka mendapatkan ganti untung yang nilainya jauh lebih besar dari nilai rumah yang tenggelam. Namun tetap saja semburan lumpur ini membawa dampak ekonomi yang besar bagi perekonomian di Sidoarjo.
Perekonomian di Porong saat ini bisa dikatakan anjlok. Banyak toko atau tempat usaha di sekitar Jalan Raya Porong terpaksa tutup. Sebab wilayah Porong yang awalnya ramai kini menjadi sepi.
Ribuan orang yang dulu tinggal di sekitar pusat semburan kini sudah pindah ke rumah baru atau rumah kontrakan di desa lain. Sekitar 24 pabrik yang dulu mempekerjakan ribuan orang juga sudah direlokasi ke tempat lain dan sebagian lagi tutup
menunggu pembayaran ganti rugi.
Bagi warga korban lumpur yang belum menerima ganti rugi, kondisinya semakin memprihatinkan. Selain usaha mereka hancur, kini mereka juga meradang menunggu ganti rugi dibayar.
Sutomo, 65, adalah salah satu keluarga yang merasakan dampak semburan lumpur. Sutomo bersama istrinya yang tinggal di Desa Gempolsari dulunya membuka warung makan dan minum di depan rumah yang ramai dikunjungi pembeli.
Namun wilayah di Desa Gempolsari tempat tinggalnya sekarang seperti desa mati karena warganya banyak yang sudah pindah.
"Terpaksa kami tutup warung dan untuk kebutuhan sehari-hari harus mengandalkan bantuan anak-anak," kata Sutomo.
Sutomo seharusnya mendapat ganti rugi sekitar Rp500 juta. Namun hingga saat ini di usia yang semakin tua dia belum mendapatkan ganti rugi sepeser pun.
Kakek bercucu empat ini hanya bisa berharap Presiden SBY mau memperhatikan nasib korban lumpur yang belum menerima ganti rugi.
Korban lumpur lain yang merasakan kehilangan pekerjaan adalah Sunodo, 60.
Warga Desa Kedungbendo Kecamatan Tanggulangin ini dulunya adalah tukang becak di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera. Agar bisa menarik becak di sana, dulunya dia sempat mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membayar trayek.
Namun setelah perumahan itu lenyap ditenggelamkan lumpur, Sunodo tidak bisa menarik becak lagi. Sebab tidak mudah baginya pindah mencari trayek lain yang jauh dari rumah mengingat usianya sudah renta. Sunodo pun sering menjadi buruh tani hingga ke desa tetangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun dia juga tidak bisa terlalu lama bekerja sebagai buruh tani karena pekerjaan mencangkul sawah terlalu berat baginya. Dia kini hanya mengandalkan pembayaran cicilan dari PT Minarak Lapindo Jaya.
"Dulu saat menarik becak saya bisa mendapatkan rata-rata Rp30 ribu per hari.Walau tidak besar tapi selalu ada. Kalau buruh tani belum selalu ada karena kerjanya menunggu panggilan," kata Sunodo.
Tidak hanya merusak perekonomian warga, semburan lumpur Lapindo juga merusak kesehatan warga yang menetap di sekitarnya. Semburan lumpur tersebut menyerang paru dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara, udara di desa-desa sekitar pusat semburan lumpur Lapindo sudah tidak aman bagi penduduk.
Menurutnya, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular Surabaya pernah melakukan penelitian di
Desa Gempolsari, Kalitengah,Glagah Arum dan Besuki pada Maret hingga Mei 2011.
Hasilnya, udara di empat desa ini bisa mengakibatkan efek nonkarsinogenik dalam kurun waktu tertentu. Hasil pemeriksaan faal paru
pada penduduk empat desa ini juga menunjukkan bahwa 81% responden mengalami gangguan restriktif atau berpengaruh pada kapasitas udara pada paru.
"Data penelitian tersebut berasal dari data skunder uji laboratorium sampel air bersih, udara, sampel faal paru, kuisioner dan observasi sanitasi lingkungan pada 53 sampel," kata Catur.
Selain udara, kualitas air tanah di Desa Besuki dan Kalitengah ternyata juga mengalami pencemaran di atas ambang batas ditentukan. Sehingga air di sekitar semburan lumpur Lapindo juga tidak aman dikonsumsi.
Catur menambahkan, pihaknya juga mencatat jumlah penderita ISPA yang berobat di Puskesmas Porong naik semenjak keluar lumpur Lapindo. Tahun 2005 saat lumpur belum keluar, penderita ISPA yang memeriksakan diri di Puskesmas Porong hanya 24.719 orang.
Namun setelah lumpur keluar, warga yang memeriksakan diri terkena ISPA meningkat tajam. Tahun 2006 menjadi 28.640 orang, tahun 2007 naik lagi menjadi 46.650 orang dan tahun 2008 menjadi 42.626 orang.
Tahun 2009 adalah yang tertinggi penderita ISPA-nya yaitu mencapai 52.543 orang. Pasalnya tahun 2009 itu juga banyak bermunculan semburan gas liar mengandung gas mudah terbakar yang baunya menyengat.
"Warga yang paling menderita dengan udara buruk di sekitar lumpur adalah balita dan manula," kata Catur.
Catur menambahkan, dari sejumlah penderita ISPA di sekitar wilayah lumpur Lapindo ada yang meninggal dunia. Di antaranya adalah Alia Nadira Putri anak pasangan Rida,35, dan Khoirul Latif,37, warga Desa Gempolsari yang meninggal 14 April 2011 lalu.
Nasib sama dialami Agung Pratama, 4, anak pasangan Uslich Hariadi dan Wahyuda warga Siring Barat. Agung meninggal Mei 2011 dalam kondisi sesak napas.
Lumpur Lapindo Membuat Perekonomian Terpuruk
Monday, May 30, 2011
Label:
news
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment